Ilustrasi – Petugas melayani wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanah Abang Tiga, Jakarta, Kamis (25/7/2024). ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/Spt/aa.
Belanja perpajakan merupakan salah satu instrumen utama dalam kebijakan fiskal yang digunakan oleh Pemerintah untuk mencapai tujuan ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pengurangan kemiskinan, dan pemerataan pendapatan.
Di Indonesia, belanja perpajakan tidak hanya berfungsi untuk membiayai kebutuhan pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan stabilitas ekonomi yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Tahun 2025 menjadi titik krusial bagi Indonesia dalam menghadapi tantangan besar terkait belanja perpajakan, mengingat proyeksi pertumbuhan ekonomi yang semakin tidak menentu serta perubahan demografi dan struktur ekonomi global.
Oleh karena itu, penting untuk merancang kebijakan perpajakan yang efektif agar dapat mendukung tujuan pembangunan nasional secara optimal.
Indonesia menghadapi beberapa tantangan besar dalam pengelolaan belanja perpajakan yang efektif, di antaranya keterbatasan basis pajak. Indonesia memiliki basis pajak yang terbatas, yang berakibat pada rendahnya rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB).
Berdasarkan data Bank Dunia, rasio pajak Indonesia terhadap PDB pada tahun 2022 tercatat sekitar 10,8 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang rata-rata sekitar 34 persen. Hal ini menunjukkan bahwa banyak potensi pajak yang belum tergali secara maksimal.
Ketimpangan pendapatan yang tinggi di Indonesia juga menjadi salah satu faktor penghambat dalam peningkatan penerimaan pajak. Selain itu, penghindaran pajak yang dilakukan oleh sebagian wajib pajak, baik individu maupun perusahaan dan itu menambah tantangan bagi Pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan pajak yang optimal.
Tantangan lain adalah pesatnya pertumbuhan sektor informal. Sektor informal di Indonesia terus berkembang pesat dan mempekerjakan sebagian besar tenaga kerja. Namun, sektor ini tidak tercatat dalam sistem perpajakan formal sehingga berkontribusi minim terhadap penerimaan pajak. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021 sekitar 60 persen dari tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal, yang menjadi tantangan besar dalam memperluas cakupan pajak.
Salah satu tantangan lainnya adalah efisiensi dalam penggunaan belanja negara. Banyaknya belanja yang tidak tepat sasaran atau yang tidak memberikan dampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat menyebabkan sumber daya yang terbatas tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.
Perkembangan ekonomi terkini
Berdasarkan data makro ekonomi terbaru, Indonesia diperkirakan akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang stabil pada tahun 2025, meskipun ada ketidakpastian global yang dapat mempengaruhi kinerja ekonomi. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025 oleh Bank Indonesia adalah sekitar 5,1 persen hingga 5,5 persen dengan inflasi yang diperkirakan tetap terkendali di bawah 4 persen.
Namun, untuk memaksimalkan potensi tersebut, peningkatan penerimaan pajak dan efisiensi dalam belanja negara akan sangat penting.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan RI, pada tahun 2023 penerimaan pajak Indonesia mencapai sekitar 15,8 persen dari PDB, menunjukkan adanya peningkatan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, namun masih jauh dari potensi yang bisa digali lebih dalam.
Beberapa pakar ekonomi menyarankan Indonesia agar mengembangkan kebijakan perpajakan yang lebih progresif dan berbasis pada teknologi untuk meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan.
Salah satu pandangan dari ahli yang relevan terkait hak tersebut adalah sebagaimana disampaikan oleh Paul Collier, seorang ekonom yang banyak meneliti mengenai negara-negara berkembang.
Collier mengemukakan bahwa sistem perpajakan di Indonesia perlu meningkatkan basis pajaknya. Dalam bukunya The Bottom Billion, Collier berpendapat bahwa negara-negara berkembang sering kali memiliki masalah dalam mengembangkan sistem perpajakan yang efektif karena tingginya ketergantungan pada sektor ekstraktif atau sumber daya alam yang rentan terhadap fluktuasi harga global.
Selanjutnya Collier menyarankan agar Indonesia fokus pada diversifikasi sumber penerimaan pajak. Hal ini karena mengandalkan pajak dari sektor ekstraktif atau formal semata tidak akan memberikan dasar yang kokoh untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pemerintah Indonesia harus memperluas basis pajak dengan meningkatkan pajak di sektor-sektor yang lebih besar seperti perdagangan, industri, dan sektor informal.
Hal lainnya, Collier juga menekankan pentingnya pembenahan sistem administrasi pajak agar lebih efisien dan transparan, serta memperkuat penegakan hukum terhadap penghindaran pajak dan korupsi yang menghambat penerimaan pajak
Riset yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia semakin sadar akan pentingnya pajak sebagai sumber pendanaan pembangunan, namun mereka juga mengharapkan Pemerintah meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan belanja negara.
Menurut survei ini, 65 persen responden menginginkan adanya peningkatan kualitas pelayanan publik yang langsung dirasakan oleh masyarakat, sementara 58 persen mengharapkan perbaikan dalam pengelolaan anggaran pemerintah.
Sementara itu, sebuah studi yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) juga menyoroti pentingnya penguatan sistem perpajakan yang berbasis pada data untuk memperluas jangkauan pajak. ADB mengungkapkan bahwa digitalisasi pajak dapat mengurangi kesenjangan dalam penerimaan pajak dan memperkuat daya saing ekonomi Indonesia di pasar global.