Sektor manufaktur RI mengalami penurunan PMI ke level terendah 13 bulan pada Juni 2024. Disebutkan, PMI manufaktur RI anjlok ke level 50,7 dari posisi di bulan Mei 2024 yang tercatat di 52,1.
S&P Global melihat ada potensi kontraksi pesanan baru pada awal semester II tahun 2024 ini, yang akan menjadi yang pertama sejak pertengahan 2021.
Meski PMI masih bertahan di atas tren rata-rata jangka panjang, namun perkiraan Indeks Output Masa Depan tidak bergerak dari posisi pada bulan Mei dan merupakan bagian dari yang terendah dalam rekor.
“Peringatan dini dari ekonom S&P ini harus kita antisipasi agar Indonesia tidak lagi kehilangan momentum peningkatan pertumbuhan sektor manufaktur sebagaimana negara industri dunia lainnya,” kata Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (1/7/2024).
“Sektor industri saat ini memang sudah masuk ke kondisi alarming. Para pelaku industri menurun optimismenya terhadap perkembangan bisnis mendatang. Hal ini dipengaruhi oleh melemahnya pertumbuhan pesanan baru yang dipengaruhi oleh kondisi pasar, restriksi perdagangan di negara lain, juga regulasi yang kurang mendukung,” tambahnya.
Febri menyoroti laporan S&P Global yang menyebut pertumbuhan sektor manufaktur kehilangan momentum pada Juni 2024. Dijelaskan, hal itu disebabkan oleh kenaikan yang lebih lambat pada output, permintaan baru, dan penjualan.
“Tidak seperti sebagian negara peers yang mengalami kenaikan PMI manufaktur, di Indonesia turun cukup dalam. Perlu adanya penyesuaian kebijakan untuk mendongkrak kembali optimisme dari pelaku industri,” tukasnya.
Regulasi yang disebut membutuhkan penyesuaian adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
“Peraturan tersebut merelaksasi impor barang-barang dari luar negeri yang sejenis dengan produk-produk yang dihasilkan di dalam negeri. Hal ini menyebabkan turunnya optimisme para pelaku industri, yang berpengaruh pada penurunan PMI,” sebutnya.
“Penyesuaian kebijakan atau policy adjustment yang diperlukan antara lain mengembalikan pengaturan impor ke Permendag No 36/2023, serta pemberlakuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk sejumlah komoditas,” tambahnya.
Febri menuturkan, kondisi darurat yang dialami industri manufaktur terlihat dari fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Penyebabnya, ujar dia, penurunan permintaan pasar global dan membanjirnya produk impor yang ‘dilempar’ ke pasar dalam negeri. Menyusul restriksi perdagangan oleh negara-negara lain.
“Apabila Indonesia tidak menerapkan peraturan terkait hal tersebut, produk-produk impor akan semakin membanjiri pasar dan memukul mundur produk-produk dalam negeri,” cetus Febri.
Warning S&P Global
Dalam rilis resminya, S&P Global menjelaskan, penurunan itu dipicu pelambatan ekspansi output maupun pesanan baru. Pesanan baru dilaporkan anjlok ke posisi terendah 13 bulan. Kinerja ekspor baru mengalami penurunan 4 kali berturut-turut.
S&P menyebut kondisi ini tak biasa.
Bahkan, S&P Global memperingatkan potensi terjadinya penurunan lanjutan.
“Terjadi penurunan momentum yang signifikan di sektor manufaktur Indonesia pada Juni, di mana pertumbuhan pesanan baru hampir berhenti karena ekspor turun untuk keempat kalinya berturut-turut,” kata Direktur Ekonomi di S&P Global Market Intelligence Trevor Balchin, dikutip dari website resmi S&P Global, Senin (1/7/2024).
“Arah perjalanan (pemesanan) juga menunjukkan kemungkinan adanya kontraksi pesanan baru pada awal paruh kedua tahun ini, yang akan menjadi yang pertama sejak pertengahan 2021,” tambah Balchin.