
Pendekatan Emosional dalam Komunikasi Krisis: Strategi Kunci dalam Membangun Kepercayaan dan Pemulihan Reputasi.
Dalam dunia komunikasi krisis, kemampuan untuk mengelola pesan dengan pendekatan emosional telah terbukti menjadi elemen kunci dalam membangun kepercayaan publik dan mempercepat pemulihan reputasi organisasi. Pandangan ini tidak hanya didasarkan pada intuisi, tetapi juga pada teori dan riset yang menunjukkan bahwa respons emosional yang tepat dapat memitigasi dampak negatif dari krisis dan memfasilitasi hubungan yang lebih kuat antara organisasi dan publik.
Teori dan Landasan Akademik
Pendekatan emosional dalam komunikasi krisis berakar pada teori-teori komunikasi yang menekankan peran emosi dalam pengambilan keputusan dan pembentukan opini publik. Salah satu teori yang relevan adalah Affective Intelligence Theory (Marcus, 2000), yang menyatakan bahwa emosi memiliki dampak signifikan dalam membentuk persepsi publik, terutama dalam situasi penuh ketidakpastian, seperti yang terjadi pada krisis.
Selain itu, Situational Crisis Communication Theory (SCCT) yang dikembangkan oleh Coombs (2007) menekankan pentingnya respons yang sesuai dengan tingkat ancaman yang dirasakan publik. SCCT mengidentifikasi berbagai strategi komunikasi yang dapat digunakan dalam menghadapi krisis, dari strategi pembelaan hingga permintaan maaf yang tulus. Coombs (2007) juga menegaskan bahwa respons yang mengakui rasa sakit dan emosi publik memiliki potensi besar untuk meredakan kecemasan dan mengurangi dampak reputasi.
Pendekatan Emosional dalam Krisis: Sebuah Kebutuhan
Ketika sebuah organisasi menghadapi krisis, publik tidak hanya terpengaruh oleh peristiwa tersebut, tetapi juga oleh cara organisasi merespons. Menurut Coombs (2007), respons yang hanya mengandalkan data dan fakta sering kali terasa dingin dan tidak memperhatikan emosi publik. Sebaliknya, respons yang mengandung elemen emosional dapat menghubungkan organisasi dengan publik secara lebih manusiawi, menciptakan rasa empati, dan mempercepat proses pemulihan.
Salah satu contoh yang sering dijadikan studi kasus adalah insiden yang melibatkan maskapai penerbangan setelah terjadinya kecelakaan atau penundaan besar. Respons yang mengandung empati—seperti permintaan maaf yang tulus, serta pengakuan terhadap kerugian yang dirasakan pelanggan—sering kali lebih efektif dalam mengembalikan kepercayaan publik daripada sekadar menyampaikan fakta teknis.
Studi Kasus: Starbucks dan Krisis Diskriminasi Rasial
Sebagai contoh, ketika Starbucks menghadapi krisis terkait insiden rasial pada 2018, perusahaan tersebut segera mengeluarkan permintaan maaf yang tidak hanya mengakui kesalahan, tetapi juga mengekspresikan rasa malu dan rasa empati yang tulus. CEO Starbucks saat itu, Kevin Johnson, tidak hanya menyampaikan fakta-fakta terkait insiden tersebut, tetapi juga menyatakan bahwa peristiwa tersebut mengingatkan perusahaan tentang pentingnya merawat hubungan dengan komunitas yang lebih luas (Starbucks, 2018).
Pernyataan tersebut menunjukkan pentingnya respons yang tidak hanya berfokus pada aspek teknis, tetapi juga pada dimensi emosional. Starbucks juga mengambil langkah nyata dengan menutup seluruh gerai untuk pelatihan sensitifitas rasial bagi karyawan. Langkah ini bukan hanya sekadar respons terhadap krisis, tetapi juga upaya untuk membangun kembali hubungan dengan pelanggan dan komunitas.
Keaslian dalam Komunikasi: Kunci Utama
Namun, meskipun pendekatan emosional sangat penting, keaslian dalam menyampaikan emosi menjadi hal yang tak kalah penting. Penelitian menunjukkan bahwa publik dapat dengan mudah mendeteksi jika respons emosional yang disampaikan organisasi tidak tulus. Menurut penelitian oleh Ulmer, Sellnow, dan Seeger (2012), respons yang terlalu dibuat-buat atau manipulatif justru dapat memperburuk situasi dan memperburuk citra organisasi.